Pendekatan Objektif : Salah Satu Pendekatan Menganalisis Karya Sastra

Abstrak

Kegiatan menganalisis karya sastra merupakan hal yang lumrah dilakukan sebagai suatu proses pemaknaan atau pemberian makna terhadap karya sastra dengan intensitas estetik,  istilah lainnya adalah konkretisasi. Berbagai pendekatan ditawarkan, salah satu diantaranya pendekatan objektif yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada karya sastra itu sendiri, pendekatan ini beranggapan karya sastra sebagai sesuatu yang otonom. Sebagai struktur yang otonom, karya sastra dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya. Oleh karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dianalisis berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari berbagai unsur yang ada di luar struktur signifikansinya

 

 

 

Berbagai pandangan mengenai pendekatan karya sastra diuraikan oleh para pakar sastra.  Abrams dalam Sarjono (2005:62) menyatakan keragaman teori dapat dipahami dan diteliti jika berpangkal pada situasi karya sastra secara menyeluruh ( the total situation of a work of art ). Diuraikan oleh Abrams ( 1979 : 3-29), terdapat empat pendekatan dalam menganalisis atau mengkaji karya satra, yaitu pendekatan yang menonjolkan kajiannya terhadap peran pengarang sebagai pencipta karya sastra disebut pendekatan ekspresif; pendekatan yang lebih menitikberatkan pada peranan pembaca sebagai penyambut atau penghayat sastra yaitu pendekatan pragmatik; pendekatan yang lebih berorientasi pada aspek referensial dalam kaitannya dengan dunia nyata yaitu pendekatan mimetik; sedangkan yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai sesuatu struktur yang otonom dengan koherensi intrinsik yaitu pendekatan objektif.

Keempat pendekatan tersebut memiliki konsep yang berbeda-beda, akan tetapi dalam perkembangannya saling melengkapi. Artinya tidak ada satu model pun yang paling tepat karena karya satra sebagai objek kajian hadir sangat beragam dan memiliki tuntutan sendiri-sendiri (Suwondo, 2001:53) .Selanjutnya tulisan  ini dibatasi hanya membahas pendekatan objektif  dan bagaimana menerapkannya pada pembelajaran puisi .

Konsep Dasar  Pendekatan Objektif

Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha, yang mendapat pengaruh langsung dari teori Saussure yang mengubah studi linguistik dari pendekatan diakronik ke sinkronik. Studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya, melainkan pada hubungan antar unsurnya. Masalah unsur dan hubungan antarunsur merupakan hal yang penting dalam pendekatan ini  (Nurgiyantoro, 2000:36). Aliran ini muncul dengan teori strukturalisme yang dikemukakan oleh anthropolog Perancis, Claudio Levi  Strauss. Teori ini dikembangkan dalam linguistik oleh  Ferdinand de Saussure dengan bukunya Cours de Linguistique Generale.(Djojosuroto, 2006: 33)

Pendekatan Objektif adalah pendekatan yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai struktur yang otonom,   karena itu tulisan ini mengarah pada analisis karya sastra secara strukturalisme. Sehingga pendekatan strukturalisme  dinamakan juga pendekatan objektif.  Semi (1993:67) menyebutkan bahwa pendekatan struktural dinamakan juga pendekatan objektif, pendekatan formal, atau pendekatan analitik. Strukturalisme berpandangan bahwa untuk menanggapi karya sastra secara objektif haruslah berdasarkan pemahaman terhadap teks karya sastra itu sendiri. Proses menganalisis diarahkan pada pemahaman terhadap bagian-bagian karya sastra dalam menyangga keseluruhan, dan sebaliknya bahwa keseluruhan itu sendiri dari bagian-bagian (Sayuti, 2001; 63). , Oleh  karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dianalisis berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis, dan lepas pula dari efeknya pada pembaca. Mengacu istilah Teeuw (1984:134) , jadi yang penting hanya close reading, yaitu cara membaca yang bertitik tolak dari pendapat bahwa setiap bagian teks harus menduduki tempat di dalam seluruh struktur sehingga kait-mengait secara masuk akal ( Pradotokusumo, 2005 : 66) .

Jeans Peaget dalam Suwondo (2001:55) menjelaskan bahwa di dalam pengertian struktur terkandung tiga gagasan , Pertama, gagasan keseluruhan (whoneles), dalam arti bahwa bagian-bagian menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan transformasi (transformation), yaitu struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus-menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan mandiri (Self Regulation), yaitu tidak memerlukan hal-hal dari luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya. Sekaitan dengan itu Aristoteles dalam   Djojosuroto (2006 : 34)  menyebutkan adanya empat sifat struktur, yaitu: order (urutan teratur),  amplitude (keluasan yang memadai),  complexity (masalah yang komplek), dan unit (kesatuan yang saling terjalin)

Sejalan dengan konsep dasar di atas, Suwondo (2001:55) berpendapat memahami sastra strukturalisme berarti memahami karya sastra dengan menolak campur tangan dari luar. Jadi memahami karya sastra berarti memahami unsur-unsur yang membangun struktur. Dengan demikian analisis struktur bermaksud memaparkan dengan cermat kaitan unusr-unsur dalam sastra sehingga menghasilkan makna secara menyeluruh.  Rene Wellek  (1958 : 24) menyatakan bahwa analisis sastra harus mementingkan segi intrinsik. Senada dengan pendapat tersebut Culler memandang bahwa karya sastra bersifat otonom yang maknanya tidak ditentukan oleh hal di luar karya sastra itu ( Culler, 1977:127). Istilah lainnya anti kausal dan anti tinjauan historis (Djojosuroto, 2006:35)

Analisis karya sastra dengan pendekatan strukturalisme memiliki berbagai kelebihan, diantaranya (1) pendekatan struktural memberi peluang untuk melakukan telaah atau kajian sastra secara lebih rinci dan lebih mendalam, (2)  pendekatan ini mencoba melihat sastra sebagai sebuah karya sastra dengan hanya mempersoalkan apa yang ada di dalam dirinya, (3) memberi umpan balik kepada penulis sehingga dapat mendorong penulis untuk menulis secara lebih berhati-hati dan teliti (Semi, 1993: 70). Selain memiliki beberapa kelebihan, pendekatan inipun  mengandung berbagai  kelemahan. Secara terinci Teeuw menjelaskan empat kelemahan strukturalisme murni , yakni: 1) strukturalisme belum mengungkapkan teori sastra yang lengkap, 2) karya  sastra  tidak dapat diteliti secara terasing dan harus dipahami dalam suatu sistem satra dengan latar belakang sejarahnya, 3) adanya unsur objektif dalam karya sastra disangsikan karena peranan  pembaca cukup  dalam turut memberi makna, 4) penafsiran puisi yang menitikberatkan otonomi puisi menghilangkan konteks dan fungsinya sehingga puisi dimenaragadingkan dan kehilangan relevansi sosialnya (Teeuw, 1984 : 176). Sekaitan dengan itu  Scholes dalam Sayuti (2001:64) menyatakan bahwa strukturalisme menghadapi bahaya karena dua hal pokok, yaitu (1) tidak memiliki kelengkapan sistematis yang justru menjadi tujuan pokoknya, (2) menolak makna atau isi karya sastra dalam konteks kultural di seputar sistem sastra. Hal ini disebabkan  karena analisis struktural itu merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, tidak memerlukan pertolongan dari luar struktur, padahal karya sastra itu tidak terlepas dari situasi kesejarahannya, kerangka sosial budayanya. Di samping itu peran pembaca sebagai pemberi makna karya sastra tidak dapat diabaikan.   Kendati mengandung berbagai kelemahan Teeuw (1983:61) berpendapat bahwa bagaimanapun juga analisis struktural merupakan tugas prioritas bagi serorang peneliti sastra sebelum ia melangkah pada hal-hal lain. Jadi, untuk memahami karya sastra secara optimal, pemahaman terhadap struktur merupakan tahap yang sukar dihindari.  Akibat adanya berbagai kelemahan itulah kemudian para kritikus mengembangkan model-model pendekatan lain sebagai reaksi strukturalisme dengan tetap mempertahankan prinsip struktur dan membuang prinsip otonomi yang dijelaskan dalam strukturalisme murni, seperti semiotik dan dekonstruksi.

Pada intinya, teori strukturalisme beranggapan karya sastra itu merupakan sebuah struktur yang unsur-unsurnya saling berkaitan. Sehingga unsur-unsurnya itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, maknanya ditentukan oleh saling keterkaitan dengan unsur-unsur lainnya sehingga membentuk totalitas makna. Adapun  tujuannya adalah mendeskripsikan secermat mungkin keterkaitan semua unsur karya sastra yang secara bersama-sama sehingga menghasilkan makna karya sastra secara menyeluruh. Sebagai konsekuensi terhadap pandangan yang menganggap karya sebagai sesuatu yang otonom ,bagian selanjutnya adalah bagaimana menerapkannya dalam menganalisis karya sastra khususnya puisi ?

Penerapan Pendekatan Objektif

Pendekatan ini lebih banyak digunakan dalam bidang puisi (Jefferson, 1982:84)  Tulisan  ini pun bermaksud menerapkan pendekatan objektif dalam menganalisis puisi. Dalam lingkup puisi , Pradopo (2000: 14) menguraikan bahwa karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma dibawahnya. Mengacu pendapat Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, Rene Wellek dalam Pradopo (2000:14) menguraikan norma-norma itu , yaitu (1) lapis bunyi  (sound stratum), misalnya bunyi suara dalam kata,frase, dan kalimat,(2) lapis arti (units of meaning), misalnya arti dalam fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat, (3) lapis objek, misalnya objek-objek yang dikemukakan seperti latar, pelaku, dan dunia pengarang. Selanjutnya Roman Ingarden masih menambahkan dua lapis norma lagi (1) lapis dunia , dan (2) lapis metafisis.

Waluyo (1987: 145)  menjelaskan, struktur puisi dibangun oleh struktur fisik (metode pengucapan makna) dan struktur batin (makna) puisi.

Secara sederhana, penerapan pendekatan objektif dalam menganilis karya sastra dalam hal ini Puisi , dapat diformulasikan sebagai berikut . Pertama,  mendeskripsikan unsur-unsur struktur karya sastra. Kedua, mengkaji keterkaitan makna  antara unusr-unsur yang satu dengan lainya. Ketiga, mendeskripsikan fungsi serta hubungan antar unsur (intrinsik) karya yang bersangkutan . Adapun langkah-langkah menelaah puisi dapat melalui tahap-tahap yang dikemukakan oleh Waluyo ( 1987: 146), tahap 1) menentukan struktur karya sastra, 2) menentukan penyair dan kenyataan sejarah, 3) menelah unsur-unsur, dan 4) sintesis dan interpretasi.  Dengan empat tahap  tersebut, diharapkan puisi dapat dipahami sebagai struktur dan sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh.  Sejalan dengan itu Djojosuroto (2006:60) mengemukakan analisis strategi pemahaman puisi. Strategi tersebut dimulai dengan : 1)  pemahaman makna kata, 2) pemahaman baris dan bait, dan 3) pemahaman totalitas makna.

Berikut ini contoh analisis puisi dengan pendekatan objektif dengan mengacu pada  langkah-langkah penelaahan puisi seperti  yang dikemukakan oleh Waluyo (1987:18)

.

Perempuan-perempuan Perkasa

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,

             dari manakah mereka

Ke setasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa

Sebelum peluit kereta pagi terjaga

Sebelum hari bermula dalam pesta kerja.

Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta

             ke manakah mereka ?

Di atas roda-roda baja mereka berkendara

Mereka berlomba dengan surya menuju ke gerbang kota

Merebut hidup di pasar-pasar kota.

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,

            siapakah mereka,

Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan Turín ke kota

Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa.

Hartojo Andangjaya, 1973

  1. Struktur Global

Puisi di atas termasuk puisi modern, bukan termasuk puisi lama maupun puisi baru. Hal ini  dapat kita lihat dari struktur baris dan baitnya. Adanya tipografi yang berbeda dari puisi lama dan puisi baru, terlihat dari penulisan baris kedua pada puisi tersebut menjorok ke dalam. Meskipun masih termasuk tipografi yang konvensional. Kemudian terdapat penggunaan tanda baca koma, titik, tanda tanya, dan tanda  titik dua .  Ini yang membedakan dari puisi lama dan baru.

Puisi di atas terdiri dari tiga bait dan tiap-tiap bait terdiri atas empat  baris . Seluruh bait dan baris  puisi  mengungkapkan  rasa kagum penyair kepada mereka yang disebutnya sebagai ”perempuan-perempuan perkasa.”  Kata-kata, suasana yang dilukiskan penyair, membantu mengungkapkan rasa kekaguman. Berikut ini pembahasan   bait demi bait  puisi tersebut untuk mendapatkan totalitas maknanya.

Bait I : menceritakan perempuan-perempuan perkasa itu datang dari dari perbukitan desa, tiap subuh mereka sudah datang ke kota menunggu kereta paling pagi, sebelum matahari terbit untuk menjual dagangannya yang disimpan di bakul.  Nada melebih-lebihkan perjuangan wanita ini dibuktikan dengan perkataan ”pesta kerja” yang digunakan untuk menggambarkan kesibukan kerja mereka. Layaknya orang berpesta sangat sibuk bekerja.

Bait II : perempuan-perempuan perkasa  itu naik kereta api ke kota sebelum fajar menjual dagangannya.. Penyair menggunakan istilah ”berlomba”  mengandung makna bahwa mereka berjuang dengan gigih, ulet  untuk  meraih suatu kehidupan yang lebih layak dengan berbagai cara , untuk memberi kesan bahwa perjuangannya cukup berat ,   penyair menyatakan  ”merebut hidup di pasar-pasar kota”. Mereka meninggalkan desa pergi ke kota untuk bersaing dengan sesamanya.

Bait III : untuk menyatakan perempuan-perempuan perkasa itu merupakan perempuan jelata tetapi menopang kehidupan masyarakat desa penyair menyatakan  ”akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota” . Lalu pernyataan tersebut dijelaskan lagi melalui bait berikutnya ” mereka : cinta kasih yang bergerak menghidupi dari desa demi desa”.  Secara konotasi mengandung makna bahwa segala usaha mereka tempuh untuk menopang kehidupan keluarga dengan melewati rintangan dan duka nestapa.

  1. Analisis Struktur Fisik dan Struktur Batin Puisi

Bahasa puisi yang digunakan bahasa transparant, artinya penyair menggunakan bahasa yang mudah dipahami, meskipun ada beberapa bagian puisi menggunakan makna kias, akan tetapi masih dapat ditangkap maknanya oleh pembaca tanpa harus berfikir secara mendalam.    Kata ”perempuan-perempuan ”  dan ”bakul”  digunakan secara berulang oleh penyair dari bait ke I sampai ke III. Ini memudahkan pembaca untuk menangkap maknanya.

Diksi yang digunakan penyair adalah kata-kata yang bernada perjuangan meraih kehidupan . Diksi tersebut tertuang pada kata ; ” sebelum peluit kereta api terjaga”, ”sebelum hari bermula dalam pesta kerja”, ” berlomba dengan surya”,” merebut hidup di pasa-pasar kota” , ”akar-akar yang melata”.  Kata ”bakul” (tenggok/Jawa)  suatu tempat yang dibuat dari anyaman bambu yang digunakan sebagai tempat sayuran, buah-buahan, dan palawija. Bakul biasanya digendong di bawa ke pasar. Bakul secara konotasi berhubungan dengan pedagang kecil dari desa menjual hasil pertaniannya yang secara otomatis berpenghasilan rendah dan miskin.  Diksi ” bakul” menandai masyarakat desa dengan tingkat ekonomi yang rendah dan miskin. Kata ”perempuan-perempuan” digunakan penyair untuk membedakan dengan kata wanita yang berkonotasi negatif. Secara etimologi kata perempuan mempunyai nilai rasa positif dibandingkan  dengan kata wanita.

Puisi mampu menghidupkan imajinasi pembaca , kata konkret dipilih secara tepat

tidak memperkabur makna yang hendak disampaikan. Suasana kegigihan untuk meraih kehidupan yang lebih layak ditampilkan secara konkret melalui kata-kata ;   pagi buta, berlomba, merebut, menghidupi. Kata-kata yang dipilih mensugesti pembaca  merasakan perjuangan hidup. Penggunaan ungkapan ”perempuan-perempuan perkasa,” semakin menandai kekaguman penyair. Struktur sintaktik tiap-tiap bait mudah ditelaah. Kesatuan gagasan pada tiap bait itu dibentuk oleh kesatuan baris yang membentuk struktur sintaksis. Bait pertama melukiskan  perempuan-perempuan perkasa, yang berangkat dari desa di pagi buta. Aktivitas kerja belum dimulai, sehingga berangkatnya para perempuan perkasa digambarkan sangat pagi. Pagi yang sangat gelap dan sepi. Bait kedua melukiskan  perempuan-perempuan perkasa tersebut, berangkat menggunakan kereta hendak berlomba dengan matahari pagi menuju ke gerbang kota untuk memperoleh kehidupan di pasar.                Hemdak kemana mereka ? tergambar pada bait ketiga yang menjelaskan keberangkatan mereka menuju ke kota untuk memperjuangkan kehidupannya. Merekalah yang memperjuangkan kehidupan di desa-desa.  Aspek bunyi vokal a sangat menonjol, terlihat dari bait pertama sampai bait ketiga  pemunculannya sangat intensif, vokal a menguasai hampir seluruh bait puisi. Bahasa figuratif yang dipergunakan cukup memperjelas pemahaman makna, seperti penggunaan kata ”perkasa” menandai kekuatan mereka dalam memperjuangkan kehidupan, kata  ”akar-akar yang melata” menandai bahwa mereka itu perempuan jelata tetapi menopang kehidupan masyarakat desa. Nada puisi ini adalah nada kekaguman. Penyair secara berulang mengungkapkan kata perempuan-perempuan perkasa untuk menandai kekagumannya secara berlebihan. Amanat puisi dapat ditafsirkan : perempuan-perempuan perkasa itu adalah perempuan-perempuan  yang berasal dari rakyat jelata , perempuan teladan, mereka berjuang mencari nafkah tanpa mengenal lelah, mereka menjadi tumpuan hidup penduduk desa perbukitan, bahkan sampai ke kota-kota sekitarnya.

  1. Sintesis dan Interpretasi

Dari uraian tentang  puisi ”Perempuan-perempuan Perkasa” tersebut di atas, dapat diungkapkan penyair merasakan kekaguman yang mendalam.  . Adanya pertautan antara struktur bahasa dan struktur batin yang selaras, ini terlihat dari pemilihan diksi yang digunakan dengan rasa  kekaguman yang diungkapkan penyair.  Harmoni antara struktur bahasa dan struktur batin tersebut  membantu pembaca menafsirkan keseluruhan isi  puisi tersebut. Makna konotasi puisi menyebabkan puisi dapat dengan mudah dipahami  tanpa menghilangkan unsur estetikanya. Penyair berhasil mensugesti pembaca merasakan kekaguman yang mendalam terhapad  perjuangan para perempuan   perkasa.

Penutup

Proses pemaknaan karya sastra dapat dipahami dengan menggunakan berbagai pendekatan, pendekatan objektif atau struktural merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis karya sastra. Meskipun analisis sastra dengan menggunakan pendekatan objektif dalam hal ini analisis strukturalisme mempunyai beberapa kelemahan, akan tetapi analisis struktural merupakan sesuatu yang harus dilalui,  sebagai sebuah tahap awal dalam proses pemaknaan  karya sastra. Karena arti sesungguhnya dari sebuah karya sastra hanya dapat dipahami dengan menganalisis susunan dan organisasi karya sastra tersebut.

Daftar Pustaka

Abrams,M.H. 1979. The Mirror and the lamp : Romantic Theory and the Critical Tradition. New York : .Oxford University Press.

Culler, Jonathan. 1977. Structuralis Poetics. London: Methuen & Co.Ltd.

Djojosuroto, Kinayati. 2006. Pengajaran Puisi Analisis dan Pemahaman. Bandung: Nuansa

Jefferson,Ann.  1982.Structuralism and Pos Structuralism Modern Literary Theory : A Comparative Introduction. London:Bats ford academic and Educational Ltd.

Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Pradopo, Rachmat Djoko dkk.  2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Hanindita Graha Widya.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2000. Pengkajian Puisi. Yogyakarta :Gadjah Mada University Press.

Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung; Angkasa.

Teeuw,A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta :Gramedia.

Teeuw.A. 1984. Satra dan Ilmu Satra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga

Wellek, Rene. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia

Categories: Uncategorized | Leave a comment

Post navigation

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.

Wikanengsih Weblog

Wahana Pendidikan .com weblog

Kontemplasi

Pendidikan

WordPress.com News

The latest news on WordPress.com and the WordPress community.